Mantan Terindah

“Mau dikatakan apa lagi, kita tak akan pernah satu. Engkau di sana, aku di sini. Meski hatiku memilihmu…”

Gue sibuk mengetuk ngetuk jari ke meja sembari menunggu pesanan datang. Ada perasaan aneh di dada. Bukan, bukan karena gue baru saja mencuri sebuah sendal dan kabur ke restoran ini buat bersembunyi. Masalah kali ini lebih pelik daripada resiko bakal digebukin karena ketauan mencuri. Gue baru aja putus.

Seminggu yang lalu, di meja yang sama, adalah hari terburuk dalam hidup gue. Ga tau kenapa, tiba tiba aja dia mengajak buat ketemuan di restoran favorit kita ini. Tempat dimana dia akhirnya bersedia menerima cinta gue.

“Kenapa? Kok kayaknya serius banget?”

“Aku…”

“…seorang kapiten? Mempunyai pedang panjang?”

Dia tertawa kecil. Sebuah senyuman tulus yang udah lama banget ga gue lihat.

“Akuu….”

Ada sedikit keraguan di wajahnya ketika mau melanjutkan berbicara.

“Aku mau kita putus”

“Hah? Gimana gimana? Ga kedengeran yang barusan”

“Aku. Mau. Kita. Putus”

“Bentar ya, koneksi hape aku lagi lemot nih. Aku mau buka google translate dulu buat nerjemahin kalimat barusan”

“PUTUS! Pe u pu te u tu ES!. Sebuah kata yang menjelaskan keadaan dimana sepasang kekasih tidak lagi menjalin sebuah hubungan. Berlaku juga buat tali kolor”

Volume suaranya barusan lumayan keras. Cukup untuk membuat sekawanan gajah yang sedang merumput, lari ketakutan dan meninggalkan salah satu anggotanya yang berlari lambat.  Orang orang di resto pasti bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Tapi mereka memilih berpura-pura tidak mendengar dan bersikap biasa saja. Beberapa yang tidak pandai berpura-pura, malah kayang di tengah jalan untuk menunjukkan kalo mereka memang tidak mendengar percakapan kami barusan. Kampret.

“Kenapa?”

Continue reading